Rabu, 12 November 2008

simbolisme batik

SIMBOLISME BATIK
oleh Suminto Fitriantoro

A. Simbolisme Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa
Pandangan masyarakat Jawa dalam memaknai dan mengartikan realitas kehidupan yang dialami dan dirasakan tidak dapat dipisahkan terhadap perkembangan dan sistem budayanya. Dalam hal ini dapat dipahami bahwasannya kebudayaan itu bersifat berkelanjutan/ ajeg (continue) yang dalam ungkapan bahasa Jawa (Aporisma Jawa) biasa dipahami dengan Alon-alon waton kelakon, Gliyak-gliyak waton tumindak (untuk mencapai tujuan diperlukan keseksamaan, ketekunan, kewaspadaan serta kesabaran, namun kita tidak boleh hanya menunggu dan tidak berbuat apa-apa sama sekali, karena itu lebih baik kita langsung mulai melaksanakan sesuai dengan kemampuan, meski perlahan) . Sikap tersebut sesuai dengan karakteristik/ persifatan dalam falsafah (cara pandang) hidup orang Jawa yang menekankan pada kehalusan budi dan rasa serta ketentraman batin.
Ketentraman batin dalam hal ini dapatnya diperoleh melalui keseimbangan diri (mikrokosmos) dan alam semesta (makrokosmos), yang dalam masyarakat Jawa sering diwujudkan dalam bentuk simbol sebagai perantara untuk menghubungkan/ menyatukan dirinya dengan kekuatan yang lebih besar yang berasal dari luar dirinya (kekuatan adhikodrati). Menurut pandangan Jawa pada umumnya, bahwa kosmos terbagi dalam bagian pangiwa dan bagian panengen. Dalam pangiwa terdapat segala unsur jahat, kasar dan nafsu untuk menghancurkan, sedang dalam bagian panengen terdapat unsur yang baik, tenang, halus dan nafsu untuk membangun dan orang tidak akan menghilangkan unsur-unsur yang terdapat dalam pangiwa karena hal itu dianggap sebagai bagian yang mutlak harus ada dalam alam kosmos dan bagian dari harmonisasi/ keseimbangan alam
Cara pandang dan karakteristik masyarakat Jawa yang demikian itu, diungkapkan oleh Simuh dan dijelaskan Darsono dalam bukunya bahwa dikatakan sebagai ciri-ciri yang menonjol dalam budaya Jawa, yaitu penuh dengan simbol-simbol atau lambang-lambang karena masyarakat Jawa pada masa itu belum terbiasa berpikir abstrak, maka segala ide diungkapkan dalam bentuk simbol yang lebih konkret yang mudah diingat dan dipahami oleh masyarakat umum, karena pada hakikatnya dalam masyarakat sederhana (masyarakat klasik) menggambar sama halnya dengan menulis dalam artian pengertian gambar sama halnya dengan tulisan yang mampu memberikan informasi pada masyarakat atas maksud dan tujuan dibuatnya suatu tulisan atau lambang tertentu. Dengan demikian segalanya dapat menjadi teka-teki, karena simbol dapat ditafsirkan secara majemuk dalam konteks masyarakat penerusnya (generasi berikutnya).
Simbol menurut Ida Bagus Gede Yudha Triguna sebagimana dijelaskan Dharsono memiliki fungsi ganda yakni transenden-vertikal (berhubungan dengan acuan, ukuran, pola masyarakat dalam berprilaku) dan imanen-horisontal (sebagai wahana komunikasi berdasarkan konteknya dan perekat hubungan solidaritas masyarakat pendukungnya).
Realitas budaya yang ada dapat dipahami bahwasannya logika orang Jawa kebanyakan dibangun atas dasar “religi-magi” yang disesuaikan dengan kondisi alam sekitar yang mempengaruhinya. Nur Syam menyebutnya dengan istilah “logika bolak-balik” yang berorientasi pada supernatural – natural – supernatural, dalam artian kehidupan manusia bergerak dari supernatural ke natural, material atau kehidupan sehari-hari, dan melalui hal itu lagi akan kembali ke supernatural.
Melalui penggambaran model berpikir Jawa ini akan dapat dipahami kerangka pikir orang Jawa yang berorientasi pada harmonisasi hubungan antara kawula-gusti, yaitu kesatuan harmonis antara spiritual dan material, yang seringkali diwujudkan ketaatan terhadap raja atau pemimpin selaku wakil Tuhan di muka bumi.
Menurut Nur Syam seperti halnya yang diungkapkan C. Geertz bahwa kebudayaan dalam wujudnya apapun (bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian) dapat dipahami sebagai sebuah “sistem kognitif dan makna” yang merupakan pengimplementasian dari Model Of (pola bagi tindakan) dan “sistem nilai” yang merupakan pengimplementasian dari Model For (pola bagi tindakan) yang keduanya dihubungkan dengan “simbol”. Contoh yang lebih sederhana adalah upacara keagamaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat merupakan “pola dari” sedangkan ajaran yang diyakini kebenarannya sebagai dasar atau acuan melakukan upacara adalah “pola bagi” dari budaya tersebut, sedang untuk menghubungkan keduanya diperlukan simbol untuk dapatnya terjaga eksistensi suatu budaya dengan pendukungnya dengan tetap menjaga keselarasannya.
Perkembangan kebudayaan suatu masyarakat dan para pendukungnya terdiri dari tiga hal penting yakni : Sistem Pengetahuan (kognitif), Sistem Nilai (edukatif), dan Sistem Simbol (pemaknaan). Yang pada hakikatnya kebudayaan merupakan keseluruhan dari pengtahuan manusia yang dapat dijadikan sebagai pedoman dan penginterpretasi dari seluruh tindakan manusia yang diyakini kebenarannya .
Dalam kerangka teoritik keilmiahan itulah budaya Jawa hidup dan terus bertahan hingga saat ini. Pandangan orang Jawa yang menekankan kehalusan budi dan rasa serta ketentraman batin yang diimbangi dengan keselarasan dan keseimbangan alam dengan segala sikap Nerima ing pandum (menerima atas segala peristiwa yang terjadi) inilah yang menempatkan manusia/ individu di bawah masyarakat, dan masyarakat di bawah alam semesta dan dapat diyakini bahwa keseimbangan antara mikrokosmos dan makrokosmos menentukan segalanya untuk dapat menjalani hidup dengan benar.
Hubungan mikrokosmos dan makrokosmos tersebut sesuai dengan pendapat Umar Khayam bahwa mikrokosmos sebagai jagad kecil merupakan jagad yang harus diupayakan terus keselarasannya, keselarasan batin dan jasmaninya. Jagad kecil sebagai unsur bagian jagad besar harus juga terus menjaga agar hubungannya dengan unsur-unsur lain dari jagad besar tetap selaras. Adapun jagad besar itu, menurut pandangan orang Jawa terdiri dari segala macam unsur baik yang terlihat maupun tidak terlihat oleh mata. Manusia, tumbuh-tumbuhan, batu-batuan, sungai, gunung, dan para lelembut, roh halus, roh para cikal bakal pendiri desa (Sing Mbabat Alas : istilah Jawa) adalah unsur-unsur jagad yang berada dalam hubungan keteraturan dan keajegan yang berarti juga keteraturan. Keteraturan dan keajegan itu dipandang oleh orang Jawa berada dalam posisi yang tidak sejajar melainkan senantiasa dalam hubungan hierarkis.
Ajaran filsafat Jawa secara tersirat menjelaskan hubungan mikro-makro-metakosmos, sesuai sistem berpikir budaya religi-magi (mistis) Indonesia dan tidak pernah lepas dari unsur sinkretik. Pandangan tentang makrokosmos mendudukkan manusia sebagai bagian dari semesta, maka dari itu manusia harus menyadari tempat dan kedudukanya dalam jagad raya ini. Pandangan tentang mikro-meta-makrokosmos, dalam konsep yang kemudian disebut ajaran Tribuana/ Triloka , yakni :
• Alam Niskala (alam yang tak tampak dan tak terindera)
• Alam Sakala Niskala (alam wadag dan tak wadag, yang terindera tetapi juga tak terindera)
• Alam Sakala (alam wadag dunia ini).
Manusia dapat bergerak ke tiga alam metakosmos tadi lewat Sakala Niskala yakni lewat kekuasaan perantara yakni Shaman atau pawing, dan lewat kesenian.
Kepercayaan yang demikian itu dapat dilihat dari susunan bangunan kraton, makam, masjid dan beberapa bagunan peninggalan masa Islam Nusantara lainnya yang penuh dengan syarat simbolisme religi. Dalam aporisma Jawa lebih dikenal dengan Urip iku saka Pangeran, bali marang Pangeran. Purwa, Madya, Wasana (Hidup itu berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Alam Purwa-Permulaan, Alam Madya-Tengah, Alam Wasana-Akhir) Dalam hal ini nampak jelas kesinambungan sebuah eksistensi keyakinan yang terus diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol.
Melalui simbol-simbol inilah manusia berupaya untuk mencapai kesempurnaan diri dengan tetap menjaga keseimbangan (balance) dan komunikasi yang selaras dengan dirinya sendiri (kekuatan yang ada dalam diri) maupun kekuatan di luar dirinya. Melalui alam seni, rasa budaya manusia yang dipenuhi dengan segala macam gejolak jiwa yang tidak terungkapkan dalam kehidupan keseharian dicurahkan dalam bentuk simbol-simbol yang dipercaya dapat mengantarkan dan memberikan ketenangan jiwa.
Manusia dengan kehidupan estetis inilah mampu menangkap dunia dan sekitarnya yang mengagumkan, kemudian ia merenungkannya kembali rasa keindahan itu dalam beberapa karya seni, sedang dalam tingkatan etika manusia mencoba meningkatkan kehidupan estetisnya dalam bentuk tindakan manusiawi yaitu bertindak bebas dan bertanggung jawab.

B. Batik Dalam Dimensi Sakral
Aspek sakralitas yang melekat pada batik dengan motif atau corak-corak tertentu merupakan pengejawantahan dari pada kondisi batiniah (alam mikro) dengan alam sekitar (alam makro) yang diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol. Pada dasarnya batik Kraton atau batik pedalaman merupakan suatu produk budaya yang tumbuh dan berkembang diatas dasar-dasar filsafat kebudayaan Jawa (kehidupan Kraton) yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan permurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang tertib, serasi dan seimbang .
Batik Kraton memiliki ciri fisik maupun non fisik yang khas yang mencerminkan kondisi alam dan jiwa, dimana batik Kraton lebih didominasi dengan warna-warna gelap, coklat dan hitam yang menggambarkan tentang ketenangan jiwa dan kehalusan rasa seni dan budaya Kraton. Dominasi warna gelap ini juga tak lepas dari kondisi alam seperti pohon, ranting, daun-daunan, bunga, buah-buahan aliran sungai, dll.
Kerajinan batik tradisional (batik Kraton) sebagai sebuah karya seni mempunyai unsur-unsur dalam bentuk proporsi, warna, serta garis yang diekspresikan dalam bentuk motif, pola, dan ornamen yang penuh dengan makna simbolis, magis, perlambangan halus dan teliti dalam penggarapannya .
Motif-motif batik klasik (batik Kraton) mengandung beberapa arti dan dipandang cukup berarti bagi orang-orang Jawa. Disamping itu ornamen-ornamen batik klasik harus dapat melahirkan rasa keindahan, dalam artian dapat memberikan perpaduan yang harmoni antara tata warna dengan susunan bentuk pada ornamennya lengkap dengan isiannya . Seni batik harus memberikan keindahan jiwa, susunan dan tata warna yang dilambangkan pada ornamen isiannya, sehingga akan memberikan gambaran yang utuh sesuai dengan paham kehidupan.
Pemakaian tata warna batik seperti kuning, putih, merah, biru dan hitam menjadi karakteristik orang Jawa yang dianggap memiliki lambang/ simbol pemujaan terhadap kedudukan yang lebih tinggi. Pada umumnya lambang yang dinyatakan dalam bentuk simbol diilhami oleh lambang-lambang warna kosmogoni Jawa yaitu keblat papat lima pancer yang juga disebut dunia waktu yang digambarkan dalam bentuk penggolongan keempat dimensi ruang berpola empat mata angin dengan satu pusat ditengahnya. Makna warna-warna itu didasarkan atas mata angin yang memiliki warna simbolik yaitu :
Gb. 12

X : WARNA PERPADUAN



Dalam ajaran Tasawuf Jawa lebih dikenal dengan sedulur papat lima pancer yang dalam pemaknaan simbolismenya diorientasikan pada sikap pengandalian diri yaitu dilambangkan dengan :
Gb. 13





Gb. 14






Dari kesemua elemen warna, unsur alam dan persifatan manusia yang memiliki garis hubung di setiap elemen itulah yang medasari nilai kepercayaan/ keyakinan masyarakat Jawa dalam mendapatkan ilham/ intuisi. Dan warna-warna tersebut memiliki kedudukan yang berpengaruh terhadap penempatan warna baku pada batik klasik (batik Kraton).
Tabel 4. (sistem waktu dalam ruang kosmos )
Bumi Hitam Lauwamah
(utara) Angongso (serakah), menimbulkan dahaga, kantuk, lapar,dsb. Lahirnya dari mulut dan tempatnya dalam perut, diibaratkan hati yang bersinar hitam.

Api Merah Amarah
(selatan) Memiliki watak angkara murka, iri, pemarah dan sebagainya. Bersumber di empedu timbul dari telinga, ibarat hati bersinar merah.

Angin Kuning Supiah
(barat) Artinya birahi, menimbulkan watak rindu, membangkitkan keinginan, kesenangan, dsb. Bersumber dari pada limpa, timbul dari mata ibarat hati bersinar kuning.
Air Putih Mutmainah
(timur) Artinya jujur, ketentraman, punya watak loba akan kebaikan, tanpa mengenal batas kemampuan, sumbernya dari tulang timbul dari hidung, ibarat hati bersinar putih.

Tidak ada komentar: